Intisari

Ketenangan Adalah Kunci Mencinta

best-art-choice-award-original-abstract-oil-painting-modern-contemporary-sky-house-wall-gallery-emma-lambert
ilustrasi oleh Emma Lambert

Saya mulai tulisan kali ini dengan menyebut namamu yang mahapengasih dan juga mahapenyayang.

Sejujurnya, saya benar-benar tak kuasa menuliskan semua rasa ini untuk mu. Berulang kali saya minum lagi kopi yang mulai dingin. Saya gugup. Sampai kehilangan kata-kata. Semoga tidak ada nafsu yang melekat pada tulisan ini. Sebab tak etis bila bicara cinta namun terdapat nafsu yang bergelayutan. Apalagi cinta pada mu.

Saya sebut dirimu kembali dan mohon izin untuk menuliskan hal ini.

Berulang kali saya mencari waktu yang tepat untuk bisa bicara dengan mu. Pagi, siang, sore, senja, dan malam selalu saya pilih untuk melangsungkan komunikasi dengan mu. Namun saya gagal melakukannya. Tidak hanya gagal, saya kurang ajar pada mu.

Saya berusaha menjumpai lalu mengajak mu bicara namun hati dan pikiran ini malah memikirkan yang lain, saya telah mendua. Mulut dan kata-kata menghadapmu tanpa kehadiran saya. Betapa saya telah kurang ajar, pun tidak etis. Bicara dengan yang dicintai seperti itu.

Sebab kekurang ajaran itu pula, saya urungkan niat menjumpai mu di waktu pagi, siang, tidak juga sore, senja, apalagi malam. Namun dalam hati tersimpan rindu. Tapi tidak bisa saya menjumpai mu kembali, dengan bersikap tidak sopan begitu. Hingga saya sadar, untuk menemui dan bicara pada mu dibutuhkan ketenangan.

Dengan ketenanganlah, saya bisa melangsungkan komunikasi dengan mu secara intim juga mesra. Tidak ada sesiapa selain kita. Karena ketenangan pula perjumpaan dengan yang dicintai akan lebih berharga. Hingga mulut dan kata-kata tidak lagi berjalan sendiri tanpa kehadiran jasad.

Mungkin saat ini saya tidak bisa menjumpai mu di waktu pagi, tidak juga siang, sore, apalagi senja dan malam. Saya akan belajar ketenangan lebih dulu untuk kemudian berkomunikasi dengan mu.

Layaknya orang yang sedang kasmaran, nama mu tak henti terucap baik sengaja maupun tidak. Kadung rindu. Namun saya harus juga belajar bersabar. Terlebih bersabar dalam mendapatkan ketenangan. Sebab tenang adalah kunci mencintai mu.

“Subhanallah Wa Bihamdihi Subhanallahil Adzim”

Saya lihat para terdahulu yang mampu berkomunikasi dengan mu secara intim, mesra dan penuh ketenangan. Baik itu di waktu pagi, siang, sore, senja, malam, dan bahkan kapanpun. Mereka tidak mendua ketika berhadapan dengan mu. Pantas saja mereka disebut kekasih. Saya kehabisan kata untuk menggambarkan kekaguman pada mereka.

Mencintai mu adalah anugerah terindah dalam hidup. Dengan pelan-pelan juga sabar, saya akan belajar ketenangan demi bisa mencintaimu.

“La Ilaha Illallah”

Baru kali ini saya se-melankolis ini. Penuh drama. Juga dihujam kerinduan.

Depok, 10 Maret 2017

Leave a comment