Intisari

Wanita Tidak Akan Pernah Setara Pria

desperate-housewife-tony-rubino
Ilustrasi oleh Tony Rubino

Pagi ini saya melihat rombongan anak SD lengkap dengan busana adat istiadat khas daerah masing-masing. Lucu sekali. Saya lupa-lupa ingat, ketika di posisi mereka berbusana seperti apa. Jangan-jangan saya berbusana a la Cobain ketimbang Pattimura. Tapi yang jelas kondisi dari era saya hingga sekarang tidak pernah berubah, dalam merayakan tanggal 21 April ini. Tentu selain hari ini lekat dengan parade busana yang dilakoni bocah SD, juga tak bisa jauh dari kata emansipasi.

Beberapa waktu yang lalu Om Firman hendak pergi mancing. Sebagai kepala keluarga sekaligus pekerja, memancing menjadi hobi barunya untuk menghibur diri. Dia senang sekali dengan kegiatan barunya, hal itu tercermin dari setiap obrolan yang kami lakukan. Tapi kadang, adakalanya Om Firman tidak pergi mancing meski kadung ingin sekali. Biasanya begitu, kalau tidak mendapatkan izin Ante Yuli, istrinya.

Adapun terkadang, Om Firman mendapatkan izin untuk pergi memancing. Namun, Ante Yuli menetapkan batas waktu. Sebelum jam sekian, Om Firman harus bergegas menyudahi hobinya dan lekas pulang ke rumah. Jika tidak, entah apa yang kan terjadi. Yang pasti selalu ada konsekuensi.

Dua peraturan yang ditetapkan Ante Yuli dan semua ditaati suaminya itu. Hal yang membuat tembok patriarki runtuh seketika di depan mata saya. Bagaimana bisa seorang yang bergelar kepala keluarga bersedia menerima peraturan bahkan mentaatinya. Nampaknya, Simone de Beauvoir perlu bertepuk tangan, sebab wanita tidak lagi menjadi warga kelas dua.

Apa Ante Yuli baru membaca The Second Sex ? Sepertinya tidak sama sekali.

Akhir Maret lalu saya pulang ke Garut dan bertemu Om Maman yang mendadak datang. Seperti biasa ia selalu datang sendiri tanpa Tante Sri. Om Maman memang selalu terbiasa melakukan apapun sendiri, meminimalisir peran seorang istri (untuk kasus tertentu). Baginya pria meski sudah menjadi seorang suami tetap harus mandiri.

Tepat ketika Om Maman baru pertama kali mempunyai anak pertama. Di masa awal menjadi seorang ayah itu, dia melakukan semua pekerjaan rumah bahkan hingga untuk masak pun sendiri. Dia membiarkan istrinya fokus dengan peran barunya sebagai seorang ibu.

“Gua nggak tegalah. Melihat istri gua, masak sambil gendong anak. Yha, gua harus masak sendiri,” tekannya malam itu. Alih-alih jumud, sebagai kepala keluarga Om Maman justru situasional, saya pikir.

Meski ia berdarah Sunda dan tidak terlalu gemar masakan pedas. Sementara sang istri berdarah Padang suka sekali memasak makanan pedas. Ia tidak mau ambil pusing soal itu dan tidak menuntut istrinya memasak sesuai kemauannya.

“Gua beli kecap sebotol. Jadi mau makanan sepedas apapun, tinggal gua tambahin kecap,” ujarnya sesederhana itu.

Bahkan Om Maman tak sungkan untuk bertukar peran menjaga buah hati. Sewaktu lahir anak pertama, Om Maman rela di pecat demi bisa mengurus anaknya tersebut. Om Maman dan istri memang seorang pekerja. Ketika kejadian itu, Tante Sri berstatus guru di sebuah sekolah. Karena gaji mereka belum sanggup membayar seorang pengasuh, mau tidak mau salah satu dari mereka yang harus turun ke lapangan.

Entah, apakah Om Maman dan Tante Sri pernah mendiskusikan The Origin of the Family, Private Property and the State milik Friedrich Engels atau tidak ? Yang pasti mereka tau bagaimana harus bersikap secara elastis sebagai sepasang suami-istri.

Memeras intisari dari Om Firman dan Om Maman, pandangan saya terhadap pola keluarga Monogami yang membosankan pun runtuh. Supremasi kepala keluarga bukannya tidak ada dalam keluarga mereka, justru ada, namun tidak kaku dan menyebalkan.

Adapun dua contoh keluarga di atas, membuat saya teringat dengan sabda Nabi Muhammad saw:

“Tidak ada (konsep) kependetaan dalam Islam! Seorang pendeta memencilkan diri dalam kesunyian di pegunungan, menjauhkan diri dari perempuan dan mengabaikan dunia. Allah ‘Azza wa Jalla telah menunjukan jalan yang sederhana. Apakah jalan itu ? Yakni menikahi perempuan, menahan kesewenang-wenangannya, mendengarkan absurditasnya, dan menjalani susah senang hidup bersamanya agar bisa mengasah perangai diri menjadi lebih jernih.”

Jalaluddin Rumi dalam kitab Fihi ma Fihi-nya mencoba menjelaskan sabda Rasulullah saw. tersebut dengan berkata:

“Dengan melakukan itu, berarti kau(re: pria) berusaha membersihkan kekotoranmu melalui dirinya(re: wanita). Akhlak atau perangai dirimu menjadi lebih baik dengan sikap tahammul (sabar menanggung beban), dan justru menjadi lebih buruk jika kau berusaha menguasai dan mengubahnya. Dengan cara itulah kau menyucikan dirimu.”


Sementara itu, saya setuju jika wanita tidak sepantasnya diperlakukan layaknya burung dalam sangkar. Wanita berhak mengenyam pendidikan sesuai dengan kebutuhannya. Saya setuju bahwa perempuan memiliki hak pilih atas kehidupannya, entah mau berkarir, menjadi ibu rumah tangga, atau bahkan di luar dua hal itu.

“Perempuan tidak dilahirkan sebagai perempuan, melainkan menjadi perempuan,” – Simone de Beauvoir

Begitu pula dengan Mama yang telah memilih menjadi perempuan yang diinginkannya. Mama tidak seperti Ante Yuli ataupun Tante Sri, yang keduanya bergelar S1 dan berkarir pula. Namun peran Mama dalam struktur keluarga sangatlah vital.

Semasa kami tinggal satu atap, Mama yang sedari pagi menyiapkan asupan energi untuk saya dan anggota keluarga lainnya, termasuk Papa yang notabene kepala keluarga. Sehingga saya bisa bersemangat pergi kuliah, berorganisasi, datang ke gigs, mendatangi diskusi-diskusi, dan nongkrong. Namun ketika kami terpisah atap, saya mengemban tugas yang dulu selalu diambil alih Mama. Dan rasanya ? Sungguh melelahkan. Ingin sekali berteriak. Saya rasa Papa pun merasakan hal yang sama. Betapa tak mudahnya mengurusi semua hal tanpa sosok Mama.

Hampir saja saya dan Papa keteteran mengurus diri sendiri. Bagaimana dengan Mama ketika itu yang harus mengurus semua anggota keluarga ? Belum lagi ditambah dengan Mama yang tak luput mengurus dirinya sendiri: mencari hiburan dengan menyaksikan serial drama India di televisi, mendatangi arisan, menimba ilmu di majelis ta’lim, atau sekedar quality time dengan adik-adiknya.

Begitu juga dengan Ibu Tini, saudara jauh saya dan Iyong, yang memilih menjadi ibu rumah tangga. Meski harus mengurus semua kebutuhan keluarganya, dia tetap tak kehilangan semangat untuk menghidupi dirinya sendiri. Salah satu caranya dengan tetap aktif membuat kriya rajutan, suatu keahlian yang dimilikinya sejak masa melajang dulu.

Jika semua urusan keluarganya telah selesai dikerjakan. Ibu Tini berdiam di singgasananya di ruang tamu, bergulat dengan benang dan jarum, membiarkan jari jemari menari membuat pola demi pola hingga membentuk sebuah benda fungsional yang khas. Dalam kondisi seperti itu, dia tampil selayaknya seorang pakar DIY Crafts yang merdeka.

Ketika anak dan suaminya sudah pulang ke rumah, aktivitas kriyanya terhenti. Ibu Tini kembali memainkan perannya sebagai ibu rumah tangga. Dia begitu menikmati dwiperannya di rumah. Pun, melakoni keduanya dengan sungguh-sungguh.

Cek hasil kriya Ibu Tini: @kriya.tangantini

Sebab itu saya rasa wanita tidak pernah bisa setara dengan pria.

Hal yang lebih mendasar kenapa wanita tidak pernah bisa setara pria, sebab wanita tonggak utama regenerasi. Pria hanya berusaha keras di malam pertama, menguras semua sperma lalu terlentang lemas. Tugas pria (dalam konteks reproduksi) telah selesai sampai di situ. Tapi wanita, tugasnya masih berlanjut sampai sembilan bulan kedepan bahkan lebih.

Wanita harus mengandung, membawa serta calon manusia dalam tubuhnya dan menjaganya agar tetap prima. Setelah calon manusia itu berubah menjadi bayi, wanita pula yang mengemban tugas memberi asupan makanan untuk pertama kalinya, apalagi kalau bukan dengan ASI yang hanya bisa keluar dari puting seorang wanita. Sungguh bukan perkara mudah namun mulia menjadi wanita.

Mama pula yang mengajarkan tentang kemandirian jauh sebelum saya mengenal etos Do it Yourself dalam Punk. Mungkin tanpa mama, saya tidak pernah tau cara menggunakan celana dalam yang benar dan berakhir naas seperti Superman.

Oleh sebab itu, jika ada pria yang melakukan tindak kekerasan terhadap wanita. Saya bisa menjamin itu lebih kepada kecemburuan, karena puting pria tidak bisa mengeluarkan susu.

Yha, wanita tidak akan pernah setara pria, karena wanita selalu lebih mulia dari pria.

Selamat Hari Kartini untuk kita semua.

Depok, 21 April 2017

2 thoughts on “Wanita Tidak Akan Pernah Setara Pria

Leave a comment