Intisari

Kekalahan Setahun

Tahun 2021, menjadi tahun buruk. Bukan karena waktu yang mengiringi segala kejadian (saya meyakini setiap waktu baik). Tahun ini buruk karena saya gagal menyikapi diri.

Banyak keputusan-keputusan emosional, tanpa pertimbangan masak, dan, bagian paling buruk, tanpa ketahanan diri yang mumpuni. Bahkan saya menyadari tindakan-tindakan saya melukai orang lain. Dan semua keburukan yang kita lakukan kepada orang lain, tentu saja, akan berbalik pada diri sendiri. (Tak perlu diromantisir, segala perbuatan memang mengandung konsekuensi. Catatan ini hanya sebagai refleksi saja.)

Saya merasa mesti belajar dari nol lagi sekarang. Atau, memang saya tidak pernah belajar. Hanya merasa-rasa sedang belajar. Celaka!

***

Sebenarnya formula kebahagiaan sederhana. Jangan pernah memikirkan sesuatu yang tidak pernah kita wujudkan dalam tindakan. Maka, pikirkanlah sesuatu yang memungkinkan kita merealisasikannya.

Sementara saya gemar menumpuk angan dan ingin dalam pikiran. Kemudian, ia menjelma menjadi sampah otak menggunung. Begitu longsor, habislah saya tertimbun.

Manusia butuh harapan untuk tetap hidup. Harapan berbeda dengan angan dan ingin. Harapan ialah ikhtiar dari proses yang sedang kita jalani saat ini. Sementara angan dan ingin hanyalah gambaran di alam pikir yang tidak memiliki kedudukan dalam dunia nyata.

Apakah harapan tidak pernah mengecewakan manusia? Tidak. Ia bisa menyulitkan hidup kita, merusak akal, dan batin kita. Jika kita salah menempatkan.

Saya pernah menempatkan harapan pada manusia. Segala ikhtiar saya menjadi bergantung pada manusia. Saya lupa, manusia itu fana dengan segala keterbatasan ruang dan waktu. Harapan mesti diletakkan kepada sesuatu yang kekal. Dalam teologis kita menyebutnya, Tuhan. Dalam agama saya, Allah. Allah kekal. Ia terbebas ruang dan waktu. Alih-alih, ia pemilik ruang dan waktu.

Tahun ini, saya kalah total melawan diri sendiri. Sudah menumpuk angan dan ingin, saya salah pula meletakan harapan.

Dalam jangka panjang, ketidakselarasan antara pikiran dan tindakan ternyata membawa dampak pada kesehatan. Secara mental, saya penuh dengan kegelisahan, pesimis yang kuat, dan kemarahan. Secara fisik, imunitas saya ringkih, pencernaan saya buruk, dan tekanan darah tak normal.

Pada penghujung tahun ini, saya menghukum diri sendiri dengan berpuasa. Untuk memangkas angan dan ingin saya perlu berhenti sejenak; agar mampu mengurai benang kusut dalam pikiran.

***

Memasuki tahun 2022. Saya hanya berharap, ia yang kekal, memberikan saya banyak energi dan kekuatan untuk menerima segala yang Ia takdirkan.

Maaf, Tuhan. Tahun ini saya gagal lagi.

Terima kasih untuk kesempatan hidup yang kau berikan sampai detik ini.

Garut, 31 Desember 2021

Leave a comment