Intisari

Terekam Tak Pernah Mati

old-man-reading-uma-krishnamoorthy
Ilustrasi: google

Jimi Multhazam duduk di depan poster Thursday Noise yang terpajang rapih. Vokalis flamboyan itu, asyik menutur kisah mengenai proses kreatif dari lagu “Terekam Tak Pernah Mati” salah satu hits yang pernah bandnya -the Upstairs- keluarkan. Dalam frame yang sama di menit berbeda turut hadir pula Sari Sartje, Ario Hendrawan, Indra Ameng, dan beberapa pelaku sejarah skena indie Ibu Kota era-2000 awal.

Dalam durasi video 12 menit 28 detik berjudul “Terekam”, mereka semua terjebak kenangan akan masa perjuangan dulu membangun lingkaran alternatif, khususnya era BB’s. Hingga sampai bisa menjadi sosok yang (bisa dikatakan) penting saat ini.

Semua kegilaan, keseruan, pola inovasi dan kreatif, persahabatan, dan kepedihan menjadi satu paket yang mereka amini terekam dan tak pernah mati dari ingatan masing-masing. Satu fase yang membahagiakan juga bernilai tinggi dalam hidup mereka semua.

Pagi itu saya sedikit santai, berhubung ada liputan keluar nanti siang. Sehingga masih ada cukup waktu untuk mengisinya dengan kretek-an dan memutar beberapa lagu. Dikejauhan saya melihat Kong Said, mantan tetangga samping rumah yang sekarang sudah pindah. Dengan sangat hati-hati, Kong Said berjalan santai saja. Kadang seperti meraba pijakan.

Kong Said termasuk sosok yang dekat dengan saya kecil. Berhubung baru bertemu kembali, saya hendak menghampirinya untuk menanyakan kabar. Saya raih tangan kanannya dan menempelkannya di bibir. Kong Said hanya terdiam lalu mengernyitkan dahi. Seperti sedang berhadapan dengan orang asing. Melihat gelagat itu, saya kembali memperkenalkan diri. Hasilnya tetap sama. Nama Papa dan statusnya dulu sebagai Kepala RT pun, saya bawa juga. Kong Said tetap terheran. Linglung.

Astaga! Saya lupa, beberapa waktu lalu anaknya Kong Said -yang juga tetangga saya, memberitahu bapaknya sudah pikun. Maklum Kong Said sudah berusia lanjut. Kalau ditaksir usianya mungkin sekarang hampir 80 tahun.

Saya pun memaklumi kondisi beliau yang lupa siapa saya dan juga Papa. Tak masalah. Saya lontarkan pertanyaan, “mau kemana Kong ?”. Jawabnya, “Ke rumah. Mau ketemu Pardi (anaknya yang juga tetangga saya itu).” Tanpa banyak kata, saya pun mempersilakannya melanjutkan perjalanannya.

Berjalan dari rumah baru menuju rumahnya yang lama (sekarang di tempati oleh Mang Pardi). Begitu sampai di rumah lamanya, Kong Said masuk membuka pagar, melihat sekitar, tanpa mengetuk pintu, lalu keluar lagi. Di kemudian waktu, saya semakin sering mendapati Kong Said melakukan hal yang sama bahkan di jam yang tak jauh berbeda, selalu pagi. Langkahnya pun konsisten, selalu santai dan meraba.

Sebagai catatan, pagi hari rumah lamanya selalu kosong ditinggal para penghuni yang beraktivitas. Jarak dari rumah baru menuju rumah lama Kong Said sekitar kurang lebih 700 meter.

Saya kembali menikmati kretek yang tersisa dan menyimak Nanna Bryndis Hilmarsdottir Cs. melantunkan Iceland indie-folknya. Tenang. Penuh ambient khas band dari negara itu. Kemudian suasana pecah oleh teriakan seorang tetangga depan rumah, menggerakan saya untuk tau apa yang terjadi. Ternyata Mak Jujum mau kabur dari rumah dan sedang dikejar oleh salah seorang anaknya.

Mak Jujum yang berusia lanjut punya riwayat melarikan diri dari rumah. Maklum Mak Jujum sudah lebih lama dari Kong Said, menderita pikun. Mak Jujum nyaris kehilangan daya ingatnya, bahkan terhadap anak, cucu dan kerabatnya. Sehingga mau tidak mau, keluarganya menyulap rumah seperti layaknya LP Cipinang.

Kehebohan pagi itu terjadi lantaran Mak Jujum mendengar lantunan shalawat yang keluar dari toa mushola. Di setiap pagi pada hari itu, memang rutin digelar pengajian ibu-ibu.

Memanfaatkan kondisi rumah yang lenggang dan pagar tidak terkunci seperti biasa, Mak Jujum bergegas menghampiri sumber suara. Beruntung aksinya diketahui Mak Nung -anaknya- yang langsung berteriak sambil mengerjarnya.

“Emak mau ke pengajian,” ujar Mak Jujum menyambut teriakan anaknya.

“Bukan Mak itu cuma kaset doang,” sahut Mak Nung sambil mengajak pulang.

Dalam langkah pulang, Mak Jujum takbir, wajahnya penuh perenungan. Merenungi sesuatu yang hanya dia dan pemiliknya yang tau.

Saya kembali menikmati sisa kretek yang hampir habis sambil tersenyum. Pagi hari bertemu dua orang berusia lanjut yang pikun dan nyaris tanpa ingatan berarti yang melekat. Kecuali untuk ingatan-ingatan yang terbaik dan layak disimpan.

Dua orang pikun yang masing-masing merekam dan tak pernah mati ingatannya, meski dalam porsi yang begitu sedikit. Kong Said dengan ingatan terbaiknya akan rumah lama dan anaknya. Mak Jujum dengan pengajian dan takbirnya.

Pada akhirnya, hanyalah kenangan terbaik yang terekam dan tak pernah mati.

Kelak, apa yang akan terekam dan tak pernah mati pada saya ?

Depok, 25 Februari 2017

(Ditulis setelah selesai menjadi pembantu untuk diri sendiri sambil menikmati playlist pop lawas dari Hedi Yunus, Warna, Uthe, Chrisye, dan Dewa 19 hingga kroncong Gesang yang membuat weekend menjadi estetis.)

Leave a comment